Sejarah
Psikologi Humanistik – Eksistensial
Istilah psikologi humanistik (Humanistic Psychology)
diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an
bekerja sama di bawah kepemimpinan Abraham Maslow dalam mencari alternatif dari
dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi.
Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisis dan behaviorisme. Maslow
menyebut psikologi humanistik sebagai “kekuatan ketiga” (a third force).
Meskipun tokoh-tokoh psikologi humanistik memiliki pandangan yang berbeda-beda,
tetapi mereka berpijak pada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia,
yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yaitu eksistensialisme. Koeswara
menyebutkan bahwa eksistensialisme adalah hal yang mengada-dalam dunia
(being-in-the-world), dan menyadari penuh akan keberadaannya (dalam Lubis, 2011).
Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai
hasil bawaan ataupun lingkungan. Psikologi eksistensial humanistic berfokus
pada kondisi manusia. Sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia
seolah-olah suatu kesatuan teknik – teknik yang digunakan untuk mempengaruhi
klien. Pendekatan terapi eksistensial bukan suatu pendekatan terapi tunggal,
melainkan suatu pendekatan yang mencakup terapi – terapi yang berlainan yang kesemuanya
berlandaskan konsep-konsep dan asumsi-asumsi tentang manusia. Terapi
Psikodinamik cendrung memusatkan perhatian pada proses tak sadar seperti
konflik-konflik internal yang terletak diluar kesadaran. Terapi
humanisitik-eksistensial juga lebih memusatkan perhatian pada apa yang dialami
klien pada masa sekarang “disini dan kini” dan bukan masa lampau. Ada persamaan
antara terapi psikodinamik dengan terapi-terapi humanistik eksistensial yaitu
kaduanya meyakini pada peristiwa masa lampau dapat mempengaruhi tingkah laku
dan perasaan individu sekarang dan keduanya juga berusaha meningkatkan
pemahaman diri dan kesadaran diri klien.
Pendekatan Eksistensial-Humanistik
Pendekatan eksistensial-humanistik pada hakikatnya
mempercayai bahwa individu memiliki potensi untuk secara aktif memilih dan
membuat keputusan bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Pendekatan ini sangat
menekankan tentang kebebasan yang bertanggung jawab. Jadi individu diberikan
kebebasan seluas-luasnya dalam melakukan tindakan, tetapi harus berani
bertanggung jawab sekalipun mengandung resiko bagi dirinya. Menurut Buhler dan
Allen (dalam Lubis, 2011), seorang ahli psikologi humanistik harus memiliki
orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut:
1. Menyadari
pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
2.
Menyadari peran dan tanggung jawab
terapis.
3.
Mengakui adanya hubungan timbal balik
dalam hubungan konseling atau terapi
4.
Konselor atau terapis harus terlibat
sebagai pribadi yg menyeluruh dengan klien.
5.
Mengakui bahwa keputusan dan pilihan
akhir terletak di tangan klien.
6. Memandang konselor atau terapis
sebagai model yang dapat menunjukan pada klien potensi bagi tindakan yang
kreatif dan positif.
7.
Memberi kebebasan pada klien untuk
mengungkapkan pandangan, tujuan, dan nilainya sendiri.
8.
Mengurangi ketergantungan klien
serta meningkatkan kebebasan klien.
Pendekatan Eksistensial-Humanistik dikembangkan oleh
Victor Frankl, Rolo May, Irvin Yalom, James Bugental, dan Medars Boss. Tokoh
yang dikatakan perintis awal perkembangan eksistensial-humanistik ini adalah
Frankl dan May. Frankl dulunya memiliki kehidupan yang tidak menyenangkan,
menderita dan banyak kepedihan. Ia adalah seorang yahudi. Saat itu adalah zaman
Nazi dimana Hitler memerintahkan semua orang yahudi untuk ditahan di suatu
perkemahan. Seluruh keluarga Frankl, anak dan istrinya ditahan di perkemahan
tersebut, hingga akhirnya seluruh anak dan istrinya meninggal dunia. Hanya
tersisa ia seorang diri. Sedangkan May memiliki latar belakang hidup yang tidak
jauh berbeda dengan Frankl, yaitu kehidupan yang tidak bahagia. Sudah dua kali
May gagal membina pernikahannya dan itu membuatnya sangat terpukul. Berdasarkan
latar belakang kehidupan yang seperti itulah mereka kemudian menciptakan suatu
teori yag kita kenal sebagi Humanistik-Eksistensial. Teori yang memandang
manusia secara positif. Manusia dilihat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri,
memiliki potensi untuk berkembang dengan penuh, dan lain-lain. Hal ini
merupakan kebalikan dari teori psikoanalisa yang memandang manusia secara
negatife. Jadi teori mereka ini didasari oleh pengalaman hidup mereka sendiri.
Psikologi eksistensial-humanistik berfokus pada
kondisi manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan
pada pemahaman atas manusia. Dalam mengembangkan teorinya, psikologi
eksistensial-humansistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam
berhubungan dengan lingkungannya, secara manusiawi dengan menitik beratkan pada
kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menetukan pilihannya,
nilai-nilai tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Konsep-konsep
utama dalam pendekatan eksistensial-humanistik adalah:
- ·
Kebebasan dan Tanggung Jawab
Kecemasan
Prosedur dan Teknik Terapi
Menurut Baldwin (dalam Corey, 1995), inti dari terapi ini adalah:
1. Kapasitas
Untuk Sadar Akan Dirinya : Implikasi Konseling.
Meningkatkan kesadaran diri, yang mencakup kesadaran
akan adanya alternative, motivasi, factor yang mempengaruhi seseorang dan
tujuan hidup pribadi, merupakan sasaran dari semua konseling. Adalah tugas
terapis untuk menunjukkan kepada klien bahwa peningkatan kesadaran memerlukan
imbalan.
2.
Kebebasan dan Tanggung Jawab : Implikasi
Konseling.
May & Yalom (dalam Corey, 1995) menyatakan bahwa terapis
eksistensial terus-menerus mengarahkan fokus pada pertanggungjawaban klien atas
situasi mereka. Mereka tidak membiarkan klien menyalahkan orang lain,
menyalahkan kekuatan dari luar, ataupun menyalahkan bunda mengandug. Apabila klien
tidak mau mengakui dan menerima pertanggungjawaban bahwa sebenarnya mereka
sendirilah yang menciptakan situasi yang ada, maka sedikit saja motivasi mereka
untuk ikut terlibat dalam usaha perubahan pribadi.
Terapis membantu klien dalam menemukan betapa mereka
telah menghindari kebebasan dan membangkitkan semangat mereka untuk belajar
mengambil resiko dengan menggunakan kebebasan itu. Kalau tidak berbuat seperti
itu berarti klien tak mampu berjalan dan secara neurotik menjadi tergantung
pada terapis.
Terapis perlu mengajarkan klien bahwa secara eksplisit
mereka menerima fakta bahwa mereka memiliki pilihan, meskipun mereka mungkin
selama hidupnya selalu berusaha untuk menghindarinya.
3. Usaha Untuk
Mendapatkan Identitas dan Bisa Berhubungan Dengan Orang Lain : Implikasi
Konseling.
Bagian dari langkah terapeutik terdiri dari tugasnya
untuk menantang klien mereka untuk mau memulai meneliti cara dimana mereka
telah kehilangan sentuhan identitas mereka, terutama dengan jalan membiarkan
orang lain memolakan hidup bagi mereka. Proses terapi itu sendiri sering
menakutkan bagi klien manakala mereka melihat kenyataan bahwa mereka telah
menyerahkan kebebasan mereka kepada orang lain dan bahwa dalam hubungan terapi
mereka terpaksa menerima kembali. Dengan jalan menolak untuk memberikan
penyelesaian atau jawaban yang mudah maka terapis memaksa klien berkonfrontasi
dengan realitas yang hanya mereka sendiri yang harus bisa menemukan jawaban
mereka sendiri.
4. Pencarian Makna
: Implikasi Konseling.
Berhubungan dengan konsep ketidakbermaknaan adalah apa
yang oleh pratis eksistensial disebut sebagai kesalahan eksistensial. Ini
adalah kondisi yang tumbuh dari perasaan ketidaksempurnaan atau kesadaran akan
kenyataan bahwa orang ternyata tidak menjadi siapa dia seharusnya. Ini adalah
kesadaran bahwa tindakan serta pilihan sesorang mengungkapkan kurang dari
potensi sepenuhnya yang dimilikinya sebagai pribadi. Manakala orang mengabaikan
potensi-potensi tertentu yang dimiliki, maka tentu ada perasaan kesalahan
eksistensial ini. Beban kesalahan ini tidak dipandang sebagai neurotik, juga
bukan sebagai gejala yang memerlukan penyembuhan. Yang dilakukan oleh terapis
eksistensial adalah menggalinya untk mengetahui apa yang bisa dipelajari klie
tentang cara mereka menjalani kehidupan. Dan ini bisa digunakan untuk menantang
kehadiran makna dan arah hidup.
5. Kecemasan
Sebagai Kondisi Dalam Hidup : Implikasi Konseling.
Kecemasan merupakan materi dalam sesi terapi
produktif. Kalau klien tidak mengalami kecemasan maka motivasi untuk mengalami
perubahan menjadi rendah. Jadi, terapis yang berorientasi eksistensial dapat
menolong klien mengenali bahwa belajar bagaimana bertenggang rasa dengan
keragu-raguan dan ketidakpastian dan bagaimana caranya hidup tanpa ditopang
bisa merupakan tahap yang perlu dialami daam perjalanan dari hidup yang serba
tergantung kea lam kehidupan sebagai manusia yang lebih autonom. Terapis dan
klien dapat menggali kemungkinan yang ada, yaitu bahwa melepaskan diri dari
pola yang tidak sehat dan membangun gaya hidup baru bisa disertai dari pola
yang tidak sehat dan membangun gaya hidup baru bisa berkurang pada saat klien
mengalami hal-hal yang ebih memuaskan dengan cara-cara hidup yang lebih baru.
Maakala klien menjadi lebih percaya diri maka kecemasan mereka sebagai akibat
dari ramalan-ramalan akan datangnya bencana akan menjadi berkurang.
6. Kesadaran
Akan Maut dan Ketiadaan : Implikasi Konseling.
Latihan dapat memobilisasikan klien untuk secara
sungguh-sungguh memantapkan waktu yang masih mereka miliki, dan ini bisa
menggugah mereka untuk mau menerima kemungkinan bahwa mereka bisa menerima
keberadaannya sebagai mayat hidup sebagai pengganti kehidupan yang lebih
bermakna.
Kelebihan Terapi Humanistik-Eksistensial
· Teknik ini dapat digunakan bagi
klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri;
·
Adanya kebebasan klien untuk mengambil
keputusan sendiri
·
Memanusiakan manusia.
Kelemahan Terapi Humanistik-Eksistensial
·
Dalam metodologi, bahasa dan
konsepnya yang mistikal;
·
Dalam pelaksanaannya tidak memiliki
teknik yang tegas;
· Terlalu percaya pada kemampuan klien
dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri);
·
Memakan waktu lama.
Sumber :
Feist, J & Feist,G. (2010). Teori kepribadian. Salemba : Humanika
Semiun,Y.(2006). Kesehatan
mental 3. Kanisius : Yogyakarta
Lubis, L, N. (2011). Memahami
dasar-dasar konseling dalam teori dan praktik. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group
Corey, G.
(1995). Teori dan praktek konseling dan psikoterapi.
Semarang : PT IKIP Semarang Press